Jumat, 29 Juli 2011

4 pola watak manusia

Dulu,ketika masih SMA,teman gw pernah mencoba membuka pembicaraan tentang watak watak yg ada di diri setiap manusia ,singkat cerita mereka bilang gw ini bertipe sanguinis,hmm dulu gw kurang paham apa yg mereka maksut,sekarang gw coba deh untaikan arti arti dari ke 4 pola watak manusia tsb.


Florence Litteur, penulis buku terlaris “Personality Plus” menguraikan, ada empat pola watak dasar manusia. Kalau saja semua sudah kita pahami, kita akan sangat terbantu sekali dalam berhubungan dengan orang lain.Kita akan jadi mengerti mengapa suami kita tiba-tiba marah sekali ketika meja kerjanya yang berantakan kita atur rapi. Kita juga akan mudah memahami mengapa pegawai kita gampang sekali berjanji… dan hebatnya dengan mudah pula ia melupakannya, “Oh ya, saya lupa”katanya sambil tertawa santai. Kita juga akan mudah mengerti mengapa istri kita nggak mau dengar sedikitpun pendapat kita, tak mau kalah,cenderung mempertahankan diri, selalu merasa benar dengan pendapatnya dan makin sengit bertengkar kalau kita mau coba-coba untuk mengalahkannya.

Yang pertama, kata Florence adalah golongan Sanguinis, “Yang Populer”. Mereka ini cenderung ingin populer, ingin disenangi oleh orang lain. Hidupnya penuh dengan bunga warna-warni. Mereka senangsekali bicara tanpa bisa dihentikan. Gejolak emosinya bergelombang dan transparan. Pada suatu saat ia berteriak kegirangan, dan beberapa saat kemudian ia bisa jadi menangis tersedu-sedu.
Namun orang-orang sanguinis ini sedikit agak pelupa, sulit berkonsentrasi, cenderung berpikir `pendek’, dan hidupnya serba tak beratur. Jika suatu kali anda lihat meja kerja pegawai anda cenderung berantakan, agaknya bisa jadi ia sanguinis. Kemungkinan besar ia pun kurang mampu berdisiplin dengan waktu, sering lupa pada janji apalagi bikin planning/rencana. Namun kalau disuruh melakukan sesuatu, ia akan dengan cepat mengiyakannya dan terlihat sepertinya betul-betul hal itu akan ia lakukan. Dengan semangat sekali ia ingin buktikan bahwa ia bisa dan akan segera melakukannya. Tapi percayalah, beberapa hari kemudian ia tak lakukan apapun juga.
Lain lagi dengan tipe kedua, golongan melankoli, “Yang Sempurna”. Agak berseberangan dengan sang sanguinis. Cenderung serba teratur, rapi, terjadwal, tersusun sesuai pola. Umumnya mereka ini suka dengan fakta-fakta, data-data, angka-angka dan sering sekali memikirkan segalanya secara mendalam. Dalam sebuah pertemuan, orang sanguinis selalu saja mendominasi pembicaraan, namun orang melankoli cenderung menganalisa, memikirkan, mempertimbangkan, lalu kalau bicara pastilah apa yang ia katakan betul-betul hasil yang ia pikirkan secara mendalam sekali.
Orang melankoli selalu ingin serba sempurna. Segala sesuatu ingin teratur. Karena itu jangan heran jika balita anda yang `melankoli’ tak `kan bisa tidur hanya gara-gara selimut yang membentangi tubuhnya belum tertata rapi. Dan jangan pula coba-coba mengubah isi lemari yang telah disusun istri `melankoli’ anda, sebab betul-betul ia tata-apik sekali, sehingga warnanya, jenisnya, klasifikasi pemakaiannya sudah ia perhitungkan dengan rapi. Kalau perlu ia tuliskan satu per satu tata letak setiap jenis pakaian tersebut. Ia akan dongkol sekali kalau susunan itu tiba-tiba jadi lain.
Ketiga, manusia Koleris, “Yang Kuat”. Mereka ini suka sekali mengatur orang, suka tunjuk-tunjuk atau perintah-perintah orang. Ia tak ingin ada penonton dalam aktivitasnya. Bahkan tamu pun bisa sajaia `suruh’ melalukan sesuatu untuknya. Akibat sifatnya yang `bossy’ itu membuat banyak orang koleris tak punya banyak teman. Orang-orangberusaha menghindar, menjauh agar tak jadi `korban’ karakternya yang suka `ngatur’ dan tak mau kalah itu.
Orang koleris senang dengan tantangan, suka petualangan. Mereka punya rasa, “hanya saya yang bisa menyelesaikan segalanya; tanpa saya berantakan semua”. Karena itu mereka sangat “goal oriented”,tegas, kuat, cepat dan tangkas mengerjakan sesuatu. Baginya tak ada istilah tidak mungkin. Seorang wanita koleris, mau dan berani naik tebing, memanjat pohon, bertarung ataupun memimpin peperangan. Kalau ia sudah kobarkan semangat “ya pasti jadi…” maka hampir dapat dipastikan apa yang akan ia lakukan akan tercapai seperti yang ia katakan. Sebab ia tak mudah menyerah, tak mudah pula mengalah.
Hal ini berbeda sekali dengan jenis keempat, sang Phlegmatis “Cinta Damai”. Kelompok ini tak suka terjadi konflik, karena itu disuruh apa saja ia mau lakukan, sekalipun ia sendiri nggak suka. Baginya kedamaian adalah segala-galanya. Jika timbul masalah atau pertengkaran, ia akan berusaha mencari solusi yang damai tanpa timbul pertengkaran. Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya nggak terus berkepanjangan.
Kaum phlegmatis kurang bersemangat, kurang teratur dan serba dingin. Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya sangat menyenangkan. Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk mengambil keputusan ia akan terus menunda-nunda. Kalau anda lihat tiba-tiba ada sekelompok orang berkerumun mengelilingi satu orang yang asyik bicara terus, maka pastilah parapendengar yang berkerumun itu orang-orang phlegmatis. Sedang yang bicara tentu saja sang Sanguinis.
Kadang sedikit serba salah berurusan dengan para phlegmatis ini. Ibarat keledai, “kalau didorong ngambek, tapi kalau dibiarin nggak jalan”. Jadi kalau anda punya staf atau pegawai phlegmatis, andaharus rajin memotivasinya sampai ia termotivasi sendiri oleh dirinya.
Mencoba Mengerti Orang Lain
Nah, sekarang anda masuk golongan mana? Coba amati istri, suami atau anak-anak anda, mereka golongan apa? Jangan-jangan anda sekarang mulai mengerti mengapa suami-istri-anak-rekan anda bertingkahlaku “seperti itu” selama ini. Dan anda pun akan tertawa sendiri mengingat-ingat berbagai perilaku dan kejadian selama ini.
Ya, tapi apakah persis begitu? Tentu saja tidak. Florence Litteur, berdasarkan penelitiannya bertahun-tahun telah melihat bahwa ternyata keempat watak itu pada dasarnya juga dimiliki setiap orang. Yang beda hanyalah `kadar’nya. Oleh sebab itu muncullah beberapa kombinasi watak manusia.
Ada orang yang tergolong Koleris Sanguinis. Artinya kedua watak itu dominan sekali dalam mempengaruhi cara kerja dan pola hubungannya dengan orang lain. Di sekitar kita banyak sekali orang-orang koleris sanguinis ini. Ia suka mengatur-atur orang, tapi juga senang bicara (dan mudah juga jadi pelupa).
Ada pula golongan Koleris Melankolik. Mungkin anda akan kurang suka bergaul dengan dia. Bicaranya dingin, kalem, baku, suka mengatur, tak mau kalah dan terasa kadang menyakitkan (walaupun sebetulnya iatak bermaksud begitu). Setiap jawaban anda selalu ia kejar sampai mendalam. Sehingga kadang serasa diintrogasi, sebab memang ia ingin sempurna, tahu secara lengkap dan agak dingin. Menghadapi orang koleris melankolik, anda harus fahami saja sifatnya yang memang `begitu’ dan tingkatkan kesabaran anda. Yang penting sekarang anda tahu, bahwa ia sebetulnya juga baik, namun tampak di permukaan kadang kurang simpatik, itu saja.
Lain lagi dengan kaum Phlegmatis Melankolik. Pembawaannya diam, tenang, tapi ingat… semua yang anda katakan, akan ia pikirkan, ia analisa. Lalu saat mengambil keputusan pastilah keputusannya berdasarkan perenungan yang mendalam dan ia pikirkan matang-matang.
Banyak lagi tentunya kombinasi-kombinasi yang ada pada tiap manusia. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas hidup kita. Jika suami istri saling mengerti sifat dan watak ini, mereka akan cenderung berusaha `memaafkan’ pasangannya. Lalu berusaha untuk menyikapinya secara bijaksana.
Begitu pula saat menerima calon pegawai. Untuk bidang-bidang yang membutuhkan tingkat ketelitian dan keteraturan yang tinggi, jauh lebih baik anda tempatkan orang-orang yang melankolik sempurna. Sedang di bagian promosi, iklan, resepsionis, MC, humas, wiraniaga, tentu jauh lebih tepat anda tempatkan orang-orang sanguinis. Lalu jangan posisikan orang-orang phlegmatis di bagian penagihan ataupun penjualan. Hasilnya pasti akan amat mengecewakan.
Begitulah, manusia memang amat beragam. Muncul sedikit tanda tanya, diantara semua watak itu, mana yang paling baik? Jawabannya, menurut Florence, tak ada yang paling baik. Semuanya baik. Tanpa orangsanguinis, dunia ini akan terasa sepi. Tanpa orang melankoli, mungkin tak ada kemajuan di bidang riset, keilmuan dan budaya. Tanpa kaum koleris, dunia ini akan berantakan tanpa arah dan tujuan. Tanpa sang phlegmatis, tiada orang bijak yang mampu mendamaikan dunia.

dikutip juga dari ahli.wordpress.com
»»  Baca Lengkap...

Orang Idealis Vs Orang Realistis

Saya sering mendengarkan orang mengatakan hal-hal negatif mengenai orang yang punya idealisme tertentu. Entah itu mulai dari sindiran hingga secara terang-terangan telah banyak ditujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kesetiaan tertentu terhadap ide yang mereka yakini benar.
Orang-orang Indonesia, terutama sekali masyarakat perkotaan, menganggap bahwa idealisme adalah suatu konsep yang harus ditinggalkan jauh-jauh dalam menjalankan hidup agar mendapatkan hidup yang baik. Benarkah itu? Sebelum menilai hal tersebut benar atau salah, ada baiknya saya sedikit jelaskan apa itu idealisme dan realism, beserta apa saja yang termasuk ke dalam kategori idealisme dan realism tersebut.
Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.
Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu, tapi juga hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai idealisme yang mempengaruhi individu contohnya adalah keyakinan mengenai pola hidup, nilai-nilai kebenaran, gaya mengasuh anak, karir dan lain sebagainya. Sedangkan idealisme pada tingkatan negara adalah seperti Ideologi Pancasila, komunisme, liberalism dan masih banyak lagi.
Sedangkan realisme adalah suatu sikap/pola pikir yang mengikuti arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti lingkungannya dengan mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia yakini. Sama dengan idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan pikiran seseorang.
Realisme-pun tidak hanya terbatas pada individu, tapi juga pada level-level diatasnya hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai realisme yang mempengaruhi individu pada umumnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi. Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada hal-hal lain seperti budaya politik, norma reliji (sistem kepercayaan) dan banyak hal-hal lainnya.
Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa batasan tulisan ini hanya untuk menjawab pernyataan kaum realis yang menganggap bahwa idealisme adalah sampah kehidupan. Untuk menyederhanakan tulisan ini agar mudah ditangkap oleh semua orang, saya akan menggunakan pendekatan perbandingan saja.
Idealisme pada dasarnya adalah perubahan, terlepas dari apakah perubahan itu baik atau buruk. Sebagai contoh idealisme positif, ingat ketika Martin Luther menentang gereja Katolik Eropa? Banyak orang ketika itu mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan kenyataan-kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealisme yang luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan gerakan reformasi (pada masa itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.
Untuk contoh buruknya, lihat idealisme yang dilakukan oleh Adolf Hitler. Dengan keyakinannya atas buruknya kaum Yahudi dan Komunisme, dia bisa menjadi penguasa Eropa dan membinasakan kaum Yahudi dan Komunis. Padahal ketika zamannya ketika itu, korporasi Yahudi dan dominasi politik komunis begitu kental dilingkungannya sehingga pada awal-awal perjuangannya Hitler justru lebih banyak mendapat hinaan dan cemooh ketimbang dukungan. Tentu saja contoh buruk ini jangan ditiru karena justru merupakan kemunduran dalam peradaban manusia.
Sebutlah semua pemimpin besar dunia: Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che Guevara, Soekarno, Julius Caesar, Socrates dan masih banyak pemimpin besar dunia lainnya yang penuh dengan idealisme-idealismenya walaupun kadang hal itu menjadi faktor utama berakhirnya hidup mereka.
Socrates contohnya: dia bersikukuh bahwa pemerintahan demokrasi Athena pada kala itu adalah pemerintah yang busuk dan korup. Walaupun banyak kerabatnya dan murid-muridnya yang membujuknya agar tidak terlalu idealis dengan keyakinannya karena akan membahayakan nyawanya, dia tetap saja lantang menentang demokrasi Athena. Walhasil, senat Athena memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk hukuman mati atas penghinaannya kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan idealismenya.
Selanjutnya adalah Soekarno. Pada masa mudanya, Soekarno sudah terbiasa diperlihatkan pemandangan betapa anak negeri ini (kaum pribumi) diperbudak oleh penjajah Belanda. Lingkungannya pun (lingkungan terpelajar dan priyayi) sudah menganggap bahwa hal itu adalah biasa. Lalu ketika dia beranjak dewasa, dia menyadari bahwa ini semua salah dan dia mulai merawan arus “realistik” penjajahan, dan mulai mengkampanyekan idealisme kebebasan (kemerdekaan) bangsa Indonesia.
Sebutlah semua orang atau pemimpin besar di bumi ini, maka orang tersebut pada awalnya selalu mempunyai idealismenya sendiri yang pada akhirnya menghantarkannya kepada kesuksesan. Atau mungkin jika ingin menggunakan pembuktian terbalik: coba anda carilah pemimpin atau orang besar dunia yang tidak punya idealisme, itupun kalau anda bisa menemukannya.
Idealisme adalah sumber perubahan. Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini, perubahan terjadi karena ada “kesalahan” atas suatu hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan keberanian untuk melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari idealisme.
Namun perlu diperhatikan juga bahwa idealisme tidak bisa berdiri sendiri. Idealisme juga memerlukan realisme. Idealisme dan sikap realistik bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain secara absolut. Tanpa adanya sikap realistik, idealisme hanya akan menjadi angan-angan utopis: bagaikan mimpi di siang bolong. Sikap idealis tanpa sifat realistis hanya akan menjadi bunga tidur dalam kehidupan yang tidak lebih baik dari khayalan orang sakit jiwa.
Perlu ada keseimbangan koheren antara sifat idealisme dan realistis agar menjadi manusia seutuhnya. Sikap realistis diperlukan untuk memahami dan menginsyafi kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis diperlukan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam realita. Tidak mungkin seorang manusia hanya mengikuti arus (realistis) selama-lamanya, atau hidup akan menjadi statis. Tidak mungkin juga seorang manusia hanya mengutamakan idealismenya semata dengan mengacuhkan realita kalau tidak ingin dikatakan seorang pemimpi.
Jadi pada kenyataannya, sikap idealis dan realis bukanlah suatu hal yang saling berkontradiktif. Justru sebaliknya, kedua hal itu harus selaras berjalan dalam pikiran dan sikap kita agar hidup selalu mengalami progresifitas. Keseimbangan antara idealisme dan realism dapat menghasilkan output yang tentunya lebih baik daripada hanya condong ke satu sisi saja.


dikutip dari kompasiana.com
»»  Baca Lengkap...